Minggu, 06 Juni 2010

1

Namaku Muhammad Rangga. Aku seorang pelajar kelas XI di SMAN 39 Jakarta Timur. Aku lahir pada 4 September 1992 dari pasangan yang bernama Drs. Abdullah, Msi dan Fatimah Azzahra. Aku anak kedua dari dua bersaudara. Hobiku adalah bermain drum (terutama lagu-lagu metal \m/) dan bermain Rubik’s Cube (selanjutnya ditulis rubik) (masih yang 3 x 3 x 3 dan solving-nya masih sekitar 1 menit).

Waktu aku masih kelas X, aku mendapatkan momen yang tak akan kulupakan seumur hidupku. Begini ceritanya:
Hari itu adalah hari kedua setelah UB 4 semester genap. Sebuah hari yang jam kosong mendominasi jam sekolah. Anak-anak bebas melakukan apapun. Tidak ada satupun guru yang melarang anak-anak beraktivitas.
Ketika aku masuk ke kelas X-J pada pukul 06.10, anak-anak masih sedikit. Radio sekolah memainkan lagu Stay Together for the Kids – Blink 182. Aku menaruh tas lalu duduk di kursi paling depan dan dekat pintu. Udara masih sejuk. Tidak dingin-dingin amat.
Satu per satu anak-anak masuk ke dalam kelas, mengisi kursi-kursi kosong seiring berjalannya waktu. Kelas lebih berisik dari sebelumnya. Kebanyakan siswa-siswi di kelasku sedang mengobrol. Lainnya, bermain UNO Card atau rubik.
Sebagai catatan, hampir semua siswa-siswi di kelasku bisa memainkan berbagai macam alat musik. Mulai dari tingkat pemula sampai menengah. Semua alat musik yang biasa ada di kebanyakan band memiliki pemainnya di kelasku. Aku sendiri bisa memainkan drum.
“Rangga, udah siap belum buat main di Rockshibition (acara lomba band antar kelas rutin ekskul Band)?” tanya Faris Ahmad, teman band kelasku yang berperan sebagai gitaris melodik sambil mendekatiku. “Dua hari lagi kita harus main! Tahu kan lagunya?”
“Insya Allah, aku siap. Laid to Rest-nya Lamb of God kan? Gw udah bisa kok,” jawabku santai dengan tetap meyakinkan. Untunglah, aku dan teman-teman bandku sudah latihan sebelum hari ini di sebuah studio musik yang tidak jauh dari SMAN 39 yang bernama J2. Awal latihan, teman-teman bandku belum bisa menguasai lagunya. Masih sedikit-sedikit. Oleh karena kegigihan mereka untuk mempelajari lagu tersebut, akhirnya sampai sekarang mereka sudah mahir untuk memainkannya.
“Yup, betul. Kapan latihan lagi nih?” tanya Faris. “Gw bawa uang buat studio kok.”
“Kalau bisa, sekarang aja,” jawabku. “Gw bawa stik drumku. Nih.” Lalu aku mengeluarkan stik drum Vic Firth ukuran 5A dari tasku. Aku mencoba drum roll secepat mungkin di meja. Suara pukulan yang cukup nyaring timbul silih berganti dari meja di depanku. Faris langsung terpukau melihat pukulanku. Tidak lama sih, karena tanganku masih belum terbiasa untuk drum roll dalam waktu lama.
“Wedeehh… mantep juga lu,” celetuk Faris mengagumiku. Dia tampak senang.
“Hahaha, ini masih biasa,” jawabku merendahkan hati. “Oh iya, bilangin ke anak-anak di band kita, mau gak kita latihan sekarang.” Kemudian, Faris menganggukkan kepalanya dan pergi menjauhiku menuju 3 orang yang berada di depan meja guru. Aku bisa mendengar percakapan Faris dengan mereka.
“Hei, teman-teman! Kita latihan yuk, gw bawa uang buat bayar studio,” sorak Faris.
“Hahaha, ‘teman-teman’? Kayak film-film anak-anak aja,” canda Alif Hendarman, vokalis bandku. “Ya udah, aku ikut.”
“Bagus. Bagaimana dengan yang lain?” tanya Faris lagi.
“Gw bisa! Dari pada gak ada kerjaan di rumah, mending gw ikut,” jawab Hafiz Sudirman, gitaris ritmik. “Sekalian bagusin skill gw nih.”
“Tunggu dulu. Jam berapa latihannya? Berapa jam? Soalnya pukul 14.45 aku ada les di BTA Kalisari,” kata Rully Yudhistira, sang basis.
“Insya Allah, kita latihan jam setengah 1 sampe setengah 2. Tempatnya sama kayak kemarin, di J2,” jawab Faris senang.
“Bagus, berarti gw bisa ikut,” jawab Rully lega.
“Yes! Aku bisa ikut latihan pada jam segitu!” sorakku mendengar jawaban Faris. Apa lagi, aku tidak mengikuti les apapun. Acara keluarga pun tidak ada pada hari ini.
“Bagus, Ngga!” tanggap Faris. “Engkaulah motor band kelas yang akan dilombakan!”
Wali tengah mengumandangkan Cari Jodoh di setiap kelas lewat radio sekolah. Anak-anak semakin aktif mengobrol di kelasku. Kadang-kadang, aku mendengar sorakan “Uno!” yang artinya dalam permainan UNO Card kartu pemain yang dipegang tinggal satu.
“Rangga, hati-hati ntar saat Rockshibition,” kata Randy Achmad Surachman, ketua kelasku yang cukup mahir bermain drum. “Kamu punya saingan berat. Orangnya ada di kelas XI.”
“Hahaha, memang sainganku banyak,” jawabku santai. “Yang penting, kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk memenangkan lomba.”
“Memang, kamu betul. Tapi, yang satu ini kemampuan bermain drumnya lebih jago darimu. Dia bakal ikut serta dalam lomba,” kata Randy. Ia terlihat sedikit cemas, mungkin karena memikirkan apakah aku bisa mengimbangi dia.
“Aku jadi pengen tahu, siapa sih “dia”?” tanyaku sedikit heran.
“Namanya Mutiara Azzahra. Aku cuma sebatas kenal nama doang. Saat main pun dia tetap memakai jilbab lebarnya,” jawab Randy.
“Hah?? Cewek??” tanyaku kaget dan heran. Jarang-jarang ada cewek jago main drum, bahkan katanya lebih jago dariku. Berjilbab pula. “Bentuk mukanya? Skill-nya gimana?”
“Oh, menurutku dia sangat cantik! Bentuk mukanya tirus. Terus, dia lumayan tinggi. Skill-nya, wah jangan ditanya deh. Salah satunya, dia bisa roll cepat dalam waktu lama! Baik dengan tangannya maupun dengan kakinya!”
Aku terkejut. Sampai-sampai, aku menahan nafas selama beberapa detik. Pasti hebat sekali permainannya. Ada sedikit hasrat yang timbul dalam diriku untuk berkenalan dan berteman akrab dengan dia. Kalau perlu, aku ingin mengadu permainan drumku dengannya.
“Wah, yang mana ya orangnya? Aku belum pernah lihat. Jangankan lihat, kenal saja nggak,” jawabku.
“Yah, kamu gak tau ya. Waktu MAS (Music After School) semester ini, setelah waktu untuk shalat ashar dia bersama bandnya main lho! Dari awal MAS, anak-anak sudah nungguin permainannya lho! Sayangnya, kamu udah pulang saat ashar. Udah gitu, kamu gak main saat MAS,” jawabnya sangat antusias. “Permainannya? Wooowww… dia sungguh keren! Dia bawain Walk With Me In Hell-nya Lamb of God bersama bandnya. Apa lagi pas dia main solo. Ckckck…… gw kehabisan kata-kata buat mengapresiasinya. Aku ingin melihat permainan dia pada Rockshibition pekan ini.”
“Hmm… ya udah, latihan kali ini harus lebih baik dari sebelumnya,” ujarku. Bel sekolah berdering. Radio sekolah dimatikan. Beberapa siswa mengambil Al Qur’an untuk tadarus bersama, termasuk aku selama 15 menit. Sudah juz 15.
Ketika selesai membaca ayat terakhir, bel berbunyi lagi. Waktu tadarus sudah selesai. Memang, sudah cukup sering di sekolah ini beberapa detik kemudian setelah membaca satu ayat, bel berbunyi. Anak-anak menaruh Al Qur’an di tempatnya.
Kelas kembali berisik. Yang bermain UNO Card dilanjutkan di depan kelas. Obrolan juga dilanjutkan.
Aku mengeluarkan drum pad-ku dari tasku. Cukup bagus untuk melatih pukulanku. Tidak terlalu mahal pula. Sudah setahun umurnya. Walaupun begitu, masih memadai untuk dipukul.
Aku mulai memukul drum pad. Mula-mula, tempo pukulanku lambat dulu untuk pemanasan. Rudiment (teknik pukulan) yang kupakai adalah single stroke (aku melakukan gerakan tangan kanan-kiri-kanan-kiri / RLRL). Sayang, aku tidak membawa metronom. Tak apalah, aku punya metronom dalam diriku, pikirku. Maksudnya, aku punya feeling yang kuat dalam menjaga ketukan pukulan seakan-akan ada metronom yang tertanam dalam otakku. Sebagai ‘metronom’nya, aku menggunakan kaki kananku.
Beberapa lama kemudian, kupercepat tempoku perlahan-lahan. Tenaga yang diperlukan lebih besar dari sebelumnya. Pergelangan tanganku belum pegal. Sampai akhirnya, kecepatan tanganku sudah berkisar setengah dari dari kecepatan maksimum. Nah, sudah mulai ada rasa pegal di pergelangan tanganku. Aku tetap memukul drum pad, melawan pegal itu.
Aku tingkatkan lagi tempoku sampai kecepatan maksimum perlahan-lahan juga. Pegalku makin terasa. Aku mensugesti diriku ‘jangan merasa pegal! Aku bisa untuk memperlama kecepatan maksimumku! Aku baik-baik saja!’. Ternyata, Allah mendengar pikiranku. Aku bisa mencapai kecepatan maksimum walaupun beberapa detik saja. Setelah itu, aku berhenti untuk mengistirahatkan tanganku. Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah, kataku dalam hati puas.
Selama istirahat, aku meminum air yang ada di botolku. Ah, segar sekali, pikirku. Setelah minum beberapa teguk, aku mendengar sebuah obrolan yang bersumber di belakangku.
“Eh, ntar siapa yang bakal main di Rockshibiton dari kelas kita?” tanya Tono Surahman, seorang penikmat musik metal legendaris. Sayangnya, dia tidak begitu mahir dalam bermain bass.
“Ya, bandnya si Rangga,” jawab Ismail Nur Fauzi, seorang penikmat lagu-lagu mainstream. “Kita doakan aja, mudah-mudahan band kita juara. Kalo nggak, minimal dapan harapan.”
“Aaamiiin,” jawab Hamid Al-Ayyubi, kibordis jazz. “Eh, kira-kira The 39 Horde bakal main gak? Itu lho, band kelas XI yang ada drummer cewek berjilbab yang jago banget.”
“Wah, gak tau deh. Nama drummernya Kak Muti kan? Kayaknya sih bakal main. Lihat aja nanti,” jawab Tono.
“Yap, betul!” tukas Ismail. “Dia memang keren.”
Aku merasakan badanku sudah tidak capek lagi. Maka, aku melakukan latihan roll pada kakiku. Tanganku kugunakan sebagai ‘metronom’. Mula-mulanya sama seperti latihan roll tangan, pelan dulu. Kemudian, tempo dipercepat perlahan-lahan.
Setelah latihan, aku mengistirahatkan badanku. Sambil istirahat, aku melihat Faris memainkan gitar elektriknya tanpa amplifier di dekat meja guru. Alif yang duduk tidak jauh dari Faris memerhatikan selembar kertas, lalu bernyanyi dengan growl. Rully dan Hafiz juga melatih permainannya di kelas.
Saat jam istirahat, aku pergi ke masjid sekolah untuk shalat dhuha. Masjid masih sepi. Tiba-tiba, aku melihat seorang perempuan cantik berjilbab yang duduk di lantai masjid. Hatiku bergejolak. Mulai ada rasa suka kepadanya. Sambil berjalan, aku berpikir bahwa perempuan inilah yang bernama Mutiara Azzahra. Ketika aku melewatinya beberapa langkah, ia mengatakan sesuatu.
“Rangga??” tanyanya. Aku langsung menghentikan langkahku. Perasaan gugup dan kaget menghantuiku. Sambil pasang muka santai untuk menyembunyikan kegugupanku, aku menengok ke belakang.
“Iya, namaku Rangga. Kok tahu?” jawabku. “Nama kamu Kak Mutiara Azzahra ya?”
“Iya, betul sekali,” jawabnya lembut sambil tersenyum. “Aku tahu kamu ketika main di MAS semester pertama. Keren. Pasti mainin Cry of the Black Birds dari Amon Amarth. Iya kan??”
“Memang betul. Padahal waktu main, aku gak lihat kakak. Tahu dari mana? Kakak suka metal ya?”
“Dari lagunya, karena kakak udah pernah denger lagu itu sebelumnya. Iya dong, sangat suka,” jawabnya sambil mengangguk dan senang. “Ikut Rockshibition gak?”
“Ikut. Kenapa?”
“Kakak bakal bersaing denganmu nanti,” jawabnya masih sambil tersenyum. “Kamu drummer, aku juga drummer. Kita lihat, siapa yang akan juara.”
“Ya, ya, aku juga akan menyaingi permainan kakak,” jawabku mantap. “Kak, bolehkah aku bersahabat dengan kakak? Sekalian mau belajar sama kakak tentang drum.”
“Silahkan, kakak juga senang bersahabat denganmu. Yuk, kita shalat dulu, ngobrolnya dilanjutin di hijab aja,” jawabnya. Wah, dia mau. Sudah begitu, dia tidak bertanya “kenapa harus kakak?”. Aku berjalan lagi ke bagian depan masjid.
Lima menit kemudian, aku sudah selesai shalat dhuha dan berdoa. Kebetulan, ada Randy di samping kananku. Dia sedang berdoa. Aku mengajak ia untuk menemaniku.
“Randy, mau gak ngobrol sama Kak Muti yang drummer itu? Kalo mau, ke hijab aja,” ajakku. Randy menerima ajakanku, lalu pergi bersama denganku ke tengah-tengah hijab.
“Assalamu’alaikum. Ada Kak Muti gak?” kataku sambil menarik-narik hijab. “Aku di sini.”
“Wa’alaikumussalam,” jawab Kak Muti. “Kakak udah di depanmu. Udah shalat?”
“Alhamdulillah, udah. Kakak juga udah?”
“Udah juga.”
“Baguslah. Kak, aku bawa temanku. Namanya Randy. Dia mau ngobrol sama kakak.”
“Oh. Hai, Randy. Nama kakak Mutiara Azzahra, kelas XI IPA 4. Salam kenal ya,” kata Kak Muti ramah.
“Salam kenal juga. Namaku Randy Achmad Surachman, kelas X-J, sekelas dengan Rangga,” balas Randy. “Sejak kapan belajar main drum?”
“Alhamdulillah, kakak sudah bisa main drum sejak kelas 3 SD. Ayah yang mengajari kakak main drum karena kemauanku sendiri untuk main drum. Beliau memperkenalkan berbagai jenis aliran musik, mulai dari pop, rock, jazz, blues, punk, dan metal. Kemudian, kakak lebih tertarik pada musik metal,” jelas Kak Muti.
“Wah, baik juga ya ayahmu,” kata Randy. “Terus?”
“Awalnya, ayah mengajari kakak permainan drum dasar. Selain itu, rudiment-rudiment dasar juga diajarkan. Kemudian, kakak mencoba memainkan lagu metal band lain untuk pertama kalinya. Kakak masih ingat judulnya, The Number of the Beast,” jelas Kak Muti lagi.
“Iron Maiden, ya. Sejak kapan punya drumset sendiri? Mereknya? Ada double pedal gak?” balas Randy.
“Iya, betul. Sejak pertama kali kakak diajarkan Ayah. Beliau langsung membeli drumset standar begitu kakak minta diajarkan. Saat itu, mereknya Tama. Beliau juga membeli double pedal merek Tama juga,” jawab Kak Muti.
“Bagus sekali. Pernah ikut les drum? Kapan? Di mana?” balas Randy.
“Pernah, saat kakak kelas 6 SD di Purwacaraka Depok. Di sana, aku belajar lebih dalam lagi. Aku juga belajar aliran lain, semisal pop, jazz, dan lain-lain. Kenapa? Karena, guru les kakak menyarankan untuk mendengarkan musik aliran lain selain metal agar mendapatkan inspirasi permainan yang lain dan unik,” jawab Kak Muti. “Kakak sering mengikuti lomba-lomba drum, baik dari Purwacaraka maupun dari pihak lain.”
“Sudah pernah menang?” tanyaku.
“Alhamdulillah, pernah. Waktu lomba di Mal Cibubur, kakak dapet juara 2. Terus, di Poins Square Lebak Bulus, dapet juara 1. Total kemenangan yang kakak raih 5 dari 8 lomba yang pernah kakak ikuti,” jawab Kak Muti.
“Waw… hebat juga ya kakak,” balas Randy sambil menggelengkan kepalanya. “Sekarang, bagaimana kabar drumset kakak sama double pedal-nya? Oh iya, tanya dong, kenapa kakak bisa roll cepat dan lama di bass drum?”
“Drumset kakak sudah dipindah ke tingkat dua yang dilengkapi peredam di dindingnya. Tom baru yang lebih kecil ditambahkan dua buah, floor tom satu buah. Simbal-simbal baru dan tiang-tiang ditambah, mulai dari splash sampai chinese 16 inci. Oh iya, sekarang ada 6 octoban yang dipasang di sebelah kiri kursi. Alhamdulillah….ingat, kakak tidak berniat menyombongkan diri. Double pedal yang lama dicopot,” jawab Kak Muti. “Sekarang, kakak punya double pedal yang baru. Alhamdulillah, kakak bisa mendapatkan double pedal merek Trick tipe Pro V-1. Itu double pedal andalan para drummer metal. Kenapa kakak bisa cepat dan lama? Karena, kakak sudah dilatih menggunakan teknik heel-toe sejak kelas 1 SMP, yaitu teknik penggunaan tumit dan ujung kaki secara bergantian. Latihan pertama, kakak masih menggunakan double pedal lama. Memang, waktu itu kakak belum terbiasa, dan menginjak pedal dengan tumit serasa lebih berat. Jujur, kakak merasa hal tersebut susah banget untuk dilakukan. Namun, ayah kakak berkata ‘kamu ingin bisa roll kaki cepat kan?’ sambil memotivasi diri kakak untuk berpikir positif dan optimistis. Akhirnya, kakak menuruti beliau. Double pedal Trick yang dibelikan beliau adalah reward atas latihanku.”
Aku terbengong mendengar jawaban Kak Muti. Wah, ayahnya pasti kaya raya, soalnya bisa membelikan bagian-bagian drumset dengan jumlah banyak, sehingga membutuhkan uang banyak, pikirku. Sudah begitu, ayahnya mau mengajari Kak Muti, sehingga Kak Muti menjadi drummer yang hebat sekarang, pikirku lagi. Tapi, aku berpikir lagi, ternyata teknik tersebut adalah ‘senjata rahasia’-nya Kak Muti dalam bermain. Kalo begitu, aku harus berlatih lebih giat dari sebelumnya supaya bisa menyaingi dia, pikirku lagi.
“Wah, wah, wah… ayah kakak baiiikkk banget,” balas Randy kagum sambil membayangkan drumsetnya Kak Muti. “Pasti duitnya banyak banget. Kerjanya apa aja? Sepertinya ayah kakak ingin kakak menjadi drummer metal yang punya band sendiri. Iya gak?”
“Makasih ya atas pujiannya,” balas Kak Muti. “Ayah kakak kerjanya jadi pengusaha digital printing di 4 cabang. Penghasilannya, maaf, kakak gak tahu pasti, tetapi beliau pernah berkata di atas 20 juta per bulan. Itu sudah penghasilan bersih. Maaf, kakak juga tidak bermaksud menyombongkan beliau. Bukan ingin, tetapi membantu cita-cita kakak untuk bikin band metal sendiri.”
“Oh gitu. Alhamdulillah, ayah kakak banyak duitnya. Hehehe,” balas Randy. “Punya tabungan buat bikin band gak? Oh iya, ntar mau kuliah di mana?”
“Oh, alhamdulillah, ada di rekening ayah kakak yang dibuat khusus untuk tabungan persiapan band di Bank Muamalat. Jumlahnya, hmm…….. males ah ngasih tahu. Yang pasti, sudah puluhan jutaan,” jawab Kak Muti. “Kakak maunya di Institut Musik Indonesia, di Pulo Gadung.”
“Kok gitu sih……. ya udah, gak usah dikatakan. Aku gak maksa kok,” balas Randy. “Wow, mau di IMI. Suka band-band apa aja?”
“Banyak sekali. Beberapa di antaranya, yaitu Dream Theater, Mastodon, Metallica, Opeth, Nile, Amon Amarth, Children of Bodom. Yang lokal juga ada, di antaranya Burgerkill, Deadsquad, Siksakubur, Purgatory, Seringai. Tapi, kakak gak suka black metal dan turunannya, karena pada umumnya bertemakan satanisme,” jawab Kak Muti.
“Kak, sudah terpikirkan nama buat band yang akan kakak bikin?” tanyaku.
“Ada ide dari kemarin. Namanya “Fight The Immoralist” dengan tema pada lagu-lagunya tentang kebobrokan moral pada masyarakat. Kakak ingin genre-nya technical death metal,” jawab Kak Muti. “Alhamdulillah, ketika kakak menanyakan ide ini ke rekan-rekan band kelas kakak, mereka mau bergabung dengan kakak dan mendukung kakak.”
“Wah, bagus, bagus. Mau bikin label sendiri nggak?” tanyaku.
“Mau dong. Kakak ingin band kakak jadi band indie, karena bisa bebas bermusik, tidak terikat pasar mainstream,” jawab Kak Muti. “Uangnya…….ya, dari tabungan buat band kakak.”
“Hmmm…. aku juga ingin punya band sendiri. Namanya belum kupikirkan, tetapi temanya sudah ada, yaitu tentang problema-problema aktual, baik yang terjadi di masa lampau maupun yang sekarang,” balasku. “Kak, kalo band kakak udah terbentuk, apa impian kakak?”
“Kakak ingin band kakak dikenal di seluruh Indonesia. Selain itu, kakak ingin go international. Paling dekat ya, ke Singapura atau Malaysia. Kalo perlu, ke Amerika. Impian terbesarku, bisa main di Download Festival atau sejenisnya!” jawab Kak Muti.
“Wow…bagus sekali impianmu,” balas Randy. “Yuk, kita ke kantin. Dari tadi kita belum makan. Makasih atas kesempatannya.”
“Sama-sama. Gak usah ke kantin, lagi males nih,” kata Kak Muti. “Kebetulan, satu dari empat temen band kakak ada di kantin. Mau pesen apa? Ntar kakak bilangin. Pada bawa duit kan?”
“Iya,” jawab Randy. “Aku mau nasi goreng.”
“Sama, aku juga bawa,” jawabku. “Aku juga mau nasi goreng.”
“Baik, ntar kalian ya yang bayar,” jawab Kak Muti. Lalu, dia menghubungi teman bandnya.
“Halo? Sya, gw mau nasi goreng, tambah dua lagi buat temen gw. Gw sama temen gw yang gantiin. Bawa ke masjid ya,” minta Kak Muti. Setelah diam beberapa saat, Kak Muti mulai mengobrol denganku dan Randy.
“Pesanan kita akan datang. Tunggu saja,” kata Kak Muti.
“Makasih, kakak,” balas Randy.
“Hehe, gak apa-apa kok,” balas Kak Muti. “Kalian gak ada remed apapun kan?”
“Nggak,” jawab kami serempak.
“Kakak juga nggak. Kalo gitu, kita di sini aja, gak usah ke kelas setelah bel berbunyi. Mau gak?” balas Kak Muti.
“Oh, nggak, makasih,” jawabku. “Aku ingin melatih pukulan tangan dan kakiku di kelas, soalnya stik dan drum pad-nya di kelas. Kalo di sini, malah ngeganggu obrolan kakak sama Randy.”
“Hmm…gitu. Ya udah, habis makan, kita ke kelas masing-masing. Kakak juga mau latihan nih di kelas kakak,” balas Kak Muti.
Beberapa menit kemudian, nasi goreng yang dipesan kami bertiga sudah tiba. Aku dan Randy masing-masing menyerahkan uang Rp 5000 ke Kak Muti. Dari Kak Muti, yang mengantar nasi goreng bernama Aisyah Athiyah, cewek berjilbab yang posisinya sebagai gitaris melodik.
Akhirnya, kami bertiga memakan nasi goreng yang kami pesan.

Setelah makan, kami bertiga pergi ke kelas masing-masing. Senang sekali rasanya bisa mengobrol dengan Kak Muti, pikirku. Beberapa detik kemudian, aku menyadari aku lupa meminta nomor HP-nya! Biar bisa stay touch di manapun. Aduuuhhh… kenapa gak dari tadi, pikirku sedikit kesal.
Baru saja aku menapakkan kakiku ke dalam kelasku, bel berbunyi. Seharusnya, kegiatan belajar-mengajar akan dimulai. Kenyataannya, dari tahun-tahun kemarin biasanya tidak ada guru yang masuk, kecuali ada remedial ulangan akhir semester. Kebetulan, anak-anak kelasku tidak ada yang remed pada mata pelajaran hari ini.
Aku dan Randy duduk di tempat masing-masing. Aku melihat semua rekan satu bandku sedang sibuk latihan. Maka, aku juga melakukan latihan rudiment. Aku juga melatih permainan drum pada lagu yang akan dibawa oleh bandku sambil mendengarkan lagunya dari iPod Nano-ku.
Sambil berlatih, aku berpikir, apakah diriku bersama bandku ini bisa menang dalam Rockshibiton. Apakah aku bisa menang atas Kak Muti? Belum lagi saingan-sainganku yang lain. Bisa jadi, ada orang lain yang hampir sejago Kak Muti. Aku masih ingat, ketika MAS semester lalu, ada band kelas XI yang membawakan lagu Entombment of a Machine – Job for a Cowboy. Sang drummer band itu lumayan hebat permainannya. Kemudian, ada band jago lain yang tidak memainkan lagu metal, yaitu Thanks For The Memories – Fall Out Boy. Menurutku, permainan drum band itu sederhana, tetapi penampilan serta kekompakannya yang membuatku kagum.
Ada pikiran lagi di dalam otakku, yaitu aku mulai jatuh cinta dengan Kak Muti. Aku terkena love in first sight! Dia lebih tua? Bukan masalah bagiku. Kenapa aku bisa jatuh cinta? Alasannya, seperti kebanyakan orang, dia cantik! Selain itu, dari gaya bicaranya saat di masjid, aku memperkirakan dia baik dan ramah, serta terbuka. Sayangnya, aku tidak tahu apakah dia juga jatuh cinta kepadaku atau tidak.
Sampai bel pertama setelah istirahat pertama berbunyi, tidak ada guru yang masuk ke kelasku. Anak-anak bebas melakukan apapun sesuka hati. Aku tetap latihan sticking dan melatih permainan drumku pada lagu yang akan dimainkan. Semua anak tampak senang melakukan kegiatannya masing-masing.